Minggu, 22 Maret 2009

PRODUKSI BELATUNG : CARA MURAH, USAHA IKAN UNTUNG

Budidaya perairan merupakan suatu kegiatan pemeliharaan organisme akuatik dalam lingkungan terkontrol dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Salah satu faktor pembatas utama pada kegiatan pemeliharaan ikan, khususnya kegiatan budidaya perikanan secara massal dan intensif adalah pakan. Pakan ikan merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan usaha budidaya. Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan pakan relatif besar mencapai 35-60% dari total produksi.

Dengan mulai beralihnya kegiatan usaha budidaya ikan dari untuk pemenuhan kebutuhan sendiri menjadi usaha komersial dan dari usaha yang bersifat tradisional menjadi semakin intensif, maka faktor penyediaan pakan menjadi faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha. Penyediaan pakan sering menjadi kendala, disamping faktor biaya yang tinggi, kualitas pakan yang tersedia juga tidak selalu sesuai dengan kebutuhan nutrisi yang diperlukan. Penyediaan pakan yang tidak sesuai dengan jumlah dan kualitas yang dibutuhkan ikan menyebabkan laju pertumbuhan ikan menjadi terhambat. Akibatnya produksi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Akibat lain dari pemberian pakan yang tidak sesuai adalah dampak buruk terhadap lingkungan akibat banyaknya sisa pakan yang terbuang.

Pakan Ikan dan Permasalahannya

Dewasa ini sudah banyak beredar pakan buatan untuk ikan dengan merek, harga dan kualitas yang sangat bervariasi. Namun harga pakan ikan air tawar masih relatif mahal, bila membeli 1 karung berisi 30 Kg sekitar Rp. 106.000,- atau mengecer per 1 Kg antara Rp. 4000,- --Rp. 5000,-. Yang menjadi pertanyaan kenapa harga pakan ikan mahal? Bagaimana cara mensiasatinya agar usaha budidaya ikan tetap untung?

Melonjaknya harga pakan ikan tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang hingga kini masih impor tepung ikan untuk bahan baku pakan.volume impor rata-rata 32.000 ton per bulan atau 384.000 ton per tahun. Hal tersebut meliputi untuk pakan ternak 60% dan 40% untuk pakan ikan. Tepung ikan impor menguasai 80% dari total kebutuhan pakan nasional. Belum lagi bahan baku pakan yang lainnya harus berkompetisi dengan konsumsi manusia seperti tepung terigu, vitamin, mineral dan sebagainya.

Pembudidaya ikan sebagian besar hingga saat ini masih mengandalkan pelet sebagai pakan ikan, karena selain mudah diperoleh dan awet serta langsung dapat diberikan pada ikan peliharaan. Namun secara finansial sudah barang tentu akan meningkatkan biaya produksi. Untuk menekan biaya produksi, para pembudidaya kadang-kadang memilih harga pakan yang lebih murah dimana tidak memiliki kandungan nutrisi yang memenuhi standar.

Pembuatan Pakan Sendiri (On Farm Feed)

Mengingat biaya pakan yang relatif tinggi, maka perlu dicarikan alternatif pemecahannya untuk dapat menekan biaya produksi tersebut. Upaya yang dilakukan adalah dengan membuat pakan buatan sendiri melalui teknik yang sederhana dengan komposisi/formulasi yang tepat.

Untuk menjawab permasalahan itu diperlukan bahan pakan alternatif alami, yang salah satunya adalah belatung atau maggot. Maggot sebenarnya adalah larva yang berasal dari telur lalat yang mengalami proses metamorfosis tahap kedua setelah fase telur dan sebelum fase pupa yang kemudian berubah menjadi lalat. Larva itu umumnya hidup pada daging yang membusuk. Khalayak umum biasanya menyebutnya belatung. Mungkin secara umum belatung sangat menjijikan, akan tetapi nilai manfaatnya sangat tinggi.

erbanyakannya maggot dapat dilakukan dengan mudah yaitu menggunakan media limbah bungkil kelapa sawit. Dari 4 Kg bungkil kelapa sawit kering dapat dihasilkan 1 kg daging maggot yang mengandung potein 40%. Caranya adalah membasahi bungkil kelapa sawit dengan air, kemudian disimpan dalam wadah besar dan dibiarkan terbuka selama 3-4 hari. Saat itulah, datang serangga buah ke dalam kaleng dan bertelur. Selang dua-sampai tiga pekan berikutnya telur serangga tersebut memproduksi belatung (maggot). Maggot itu nantinya dikeringkan dan digiling menjadi tepung. Tepung maggot dapat menjadi pengganti tepung ikan sebagai bahan baku pembuatan pakan.

Bagaimana halnya dengan usaha perikanan di daerah-daerah yang notabene sumberdaya kelapa sawitnya tidak ada? Berbagai bahan lokal sebagai pengganti bungkil kelapa sawit banyak terdapat di sekitar lokasi budidaya. Pembudidaya ikan dapat mensiasati dengan memanfaatkan limbah industri yang relatif murah dan mudah diperoleh. Limbah industri yang biasanya hampir terdapat di setiap daerah adalah limbah ampas tahu. Dengan memegang prinsip bahwa larva maggot hidup pada daging yang membusuk, kita dapat memanfaatkan daging keong mas yang terkadang menjadi hama baik di sawah maupun kolam.

Pemanfaatan keong mas didasari bahwa murah, mudah diperoleh dan tidak berkompetisi dengan konsumsi manusia seperti halnya ikan asin atau ikan lainnya. Keberadaan keong mas diperlukan sebagai daya tarik lalat untuk bertelur pada media tersebut. Prinsip produksi maggot dengan media ampas tahu tidak jauh berbeda dengan menggunakan media kelapa sawit. Pemanfaatan berbagai macam media tidak mempengaruhi kandungan protein dari belatung itu sendiri.

Teknologi produksi belatung atau maggot ini merupakan teknologi yang murah, ramah lingkungan dan mudah diaplikasikan oleh segenap lapisan masyarakat. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah lokasi produksi belatung, tidak terlalu dekat dengan pemukiman. Hal ini untuk menghindari bau yang tidak sedap yang dapat menggangu masyarakat di sekitarnya.


Senin, 16 Maret 2009

Bulu Babi : Alternatif Sumber Pangan Laut yang Dapat Dibudidayakan

Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan lautan lebih luas dari daratan, maka sangat mungkin bahwa jumlah pangan yang dapat disediakan dari laut untuk segenap makhluk hidup juga lebih banyak daripada yang bisa disiapkan dari daratan. Lalu mengapa kita yang hidup di wilayah yang terkepung laut lebih terfokus mengeksploitasi daratan untuk memperoleh pangan? Kekurangpahaman akan potensi laut dan pesisir sebagai ladang pangan menyebabkan terjadi ketidakseimbangan pengembangan teknologi penyiapan pangan dari laut dengan dari daratan.

Kita harus menyadari bahwa laut bagaikan gudang kekayaan bahan pangan yang tidak hanya kaya rasa tetapi juga sarat senyawa gizi dan non-gizi yang mampu meningkatkan kinerja proses metabolisme tubuh. Pada sisi lain, laut juga merupakan bagian ruang hidup bangsa yang berperan sebagai sumber energi, media penghubung, kegiatan industri dan medan pertahanan dan keamanan.

Salah satu sumber pangan yang berasal dari laut yang dapat dimanfaatkan adalah bulu babi. Mungkin bagi masyarakat yang hidupnya jauh dari pantai kedengarannya masih sangat asing. Seperti apakah bulu babi itu? Penampilan bulu babi secara fisik tidaklah menarik, hampir diseluruh tubuhnya dipenuhi duri-duri dan sedikit beracun apabila salah satu anggota tubuh kita terkena durinya dan bisa menyebabkan sedikit demam. Hewan ini juga merupakan hama bagi para pembudidaya rumput laut.

Akan tetapi di balik wajah dan namanya yang sangat menyeramkan, tersimpan sejuta potensi pengembangan bagi kekayaan sumber pangan dari laut. Produk bulu babi yang dapat dimakan umumnya berupa telur (gonad). Di restoran sushi, produk ini sangat mahal berkisar antara 50 sampai $ 500 US per kilogramnya, tergantung warna dan teksturnya.

Revolusi Biru

Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sebenarnya berpotensi besar untuk membudidayakan jenis ini. Kini saatnya kita mengembangkan revolusi biru. Peluang yang demikian terbuka untuk mengeksploitasi lautan, tentunya jangan dibiarkan berlalu begitu saja. Setidaknya terdapat 3 jenis bulu babi yang dapat dikembangkan di Indonesia yakni dari jenis Echinometra spp., Tripneustes gratilla, dan Diadema setosum. Bahkan kemungkinan masih ada lagi jenis-jenis lainnya di perairan laut Indonesia yang belum diidentifikasi potensinya. Ketiga jenis bulu babi ini selain memiliki pertumbuhannya cepat juga mampu menghasilkan gonad yang lebih besar dibandingkan jenis bulu babi lainnya. Namun karena keterbatasan pengetahuan dan perhatian dari masyarakat nelayan, menyebabkan bulu babi belum banyak dilirik untuk menjadi salah satu komoditi unggulan daerah. Selama ini pemanfaatan telur babi oleh nelayan berasal dari hasil pengumpulan dan penangkapan di alam dan masih dijual untuk komoditi pasar lokal (non ekspor).

Melihat potensi dan manfaat ekonomi bulu babi yang besar di masa depan sebagai alternatif sumber pangan dan sumber ekonomi, sudah saatnya untuk memberikan pengetahuan kepada para nelayan untuk tidak hanya sekedar menangkap bulu babi. Namun ada usaha yang serius ke arah memelihara atau membudidayakan bulu babi.


Taufik Budhi Pramono


Aquaculturist Sejati